Senin, 20 Agustus 2007

Apa Khabar Seni Performa Hari Ini?

Performance Art oleh Diddi Tirtosari di TB Toga Mas, Jl. Diponegoro, Surabaya, 3 Agustus 2007




























Berawal dari keingintahuan saya untuk lebih memahami bentuk yang paling tak lazim dalam dunia seni kontemporer, yakni performance art --yang kemudian saya sebut sebagai seni performa*--, membuat saya tergerak untuk mengawali observasi saya mengenai performance art. Gagasan ini mendapatkan respon positif dan dukungan fasilitas serta finansial [grant] dari beberapa pihak [lihat http://observeperformanceart.blogspot.com/] baik di luar dan dalam negeri.



Mengapa ternyata ada juga pihak-pihak yang tertarik?


Ketertarikan beberapa pihak ini disebabkan belum adanya informasi historis mengenai hal ikhwal keberadaan bentuk seni ini di Indonesia. Selain itu juga terjadi silang pendapat antara term dan bentuk yang kadang hadir pula dalam media massa, yang agak disayangkan seringkali tak menyertakan penjelasan berdasar pada studi pustaka. Sementara itu, kegiatan yang mengatasnamakan performance art terus tumbuh dan terjadi sporadis serta semakin banyak menarik minat para pelaku untuk terlibat di dalamnya.
Maka, menurut saya akan disayangkan sekali jika kondisi ini terlewatkan begitu saja untuk melakukan observasi, sementara waktu makin berlalu dan semakin banyak orang ingin tahu ‘apa itu performance art'.

Indonesia telah kaya akan ragam bentuk bila masuk dalam kategori performance. Kondisi multi etnik Nusantara yang dipenuhi aneka rupa upacara ritual adalah dasar dari segala bentuk sajian pertunjukan dengan segala perkembangannya hingga kini. Menurut saya, hal itu merupakan ciri tersendiri dalam khasanah seni pertunjukan atau performing art yang sebaiknya perlu dipertahankan dan bisa jadi menjadi sebuah genre tersendiri dalam sejarah seni pertunjukan Indonesia dan bukan tidak mungkin menjadi kontribusi dalam sejarah seni pertunjukan dunia.
Namun berkenaan dengan observasi saya, tetap pada alur term "performance art", maka saya mengacu pada wacana historikal dari Barat. Mencari wacana ini juga tidak mudah. Acuan yang saya peroleh meski terdiri dari puluhan sumber dan nara sumber, perlu melewati filterisasi dan sistem cross-check berdasarkan studi komparatif yang acapkali harus dilakukan. Banyak info dan data yang tidak sama atau pun tanpa proses riset dan check- recheck. Kadang saya hanya menyitirnya begitu saja akibat belum adanya data komparatif yang masuk. Acuan yang saya pakai pun kadang dari khasanah performance, kadang juga performing art, mayoritas dari visual art [seni rupa]. Sementara banyak pula yang menggunakan bentuk ini dalam seni sastra [literature]. Maklum, bentuk ini memang belum memiliki ruangan tersendiri. Masih terjadi tarik menarik di antaranya atas genre ini.

Tentu saja hasilnya belumlah maksimal, karena observasi ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan intensitas yang berkesinambungan yang bisa saja memakan waktu bertahun-tahun dan bukannya tidak mungkin bisa mengubah selain mengembangkan kesimpulan yang telah ada akibat keberadaan data yang baru masuk atau berhasil didapatkan. Maka mustahil apabila dalam tempo setahun saya bisa memberikan hasil final. Observasi saya di tahun 2005 yang meliputi 3 negara [Indonesia , Malaysia dan Singapura] adalah awal dari upaya pemahaman saya atas performance art. Maka, demikianlah seterusnya sebagaimana riset-riset yang telah dilakukan oleh para observer terdahulu yang acapkali mengalami perubahan dan perkembangan, saya pun akan tetap melanjutkan observasi ini bilamana mendapatkan peluang untuk itu.

Ada beberapa periset dari Indonesia yang berhasil saya temukan selama masa observasi itu, baik yang telah dan sedang melakukan observasi sebagaimana yang dilakukan oleh Feriawan [Bandung], Ari Suryadi Nata [Bandung], Ronald Apriyan [Yogyakarta] untuk program Strata 1 lokal dan Tiarma Dame Sirait [Bandung] serta Melatti Suryodarmo [Solo] untuk program Strata 2 mereka di Eropa. Sementara beberapa periset lainnya secara selintas mengupas kulit luar semata, tidak khusus berfokus pada bidang performance art. Selain itu kajian historikalnya dan referensi serta observasinya masih minim.

Kegiatan observasi saya meliputi koordinasi berbagai acara talk, putar dokumentasi serta performance art session hingga event internasional –sebagai sarana sharing-forum guna mendapatkan data terbaru-- ini ternyata menarik perhatian beberapa pihak luar. Dari beberapa pengundang, tentu saja saya penuhi adalah pihak pengundang yang menyediakan fasilitas lengkap [travel, akomodasi, biaya hidup dan bahan-bahan artwork]. Salah satunya adalah Khoj Artists’ Association di India. Atas dasar saran yang diberikan oleh Ray Langenbach, PhD [performance artist, organizer dan periset asal USA yang tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia], institusi ini mengundang saya untuk Performance Artists in Residency Program di Khoj Studio New Delhi selama 6 minggu [Februari-Maret 2007]. Institusi ini memiliki berbagai rangkaian program residensi internasional untuk berbagai bidang dalam seni rupa, baik dari segi perkembangan teknologi, multi media, instalasi, tradisi-kontemporer dan sebagainya. Beberapa aktivis seni dari Indonesia yang pernah diundang adalah Reza Afisina [Asung] dari Ruang Rupa, Pius Sigit Kuncoro dan Bambang 'Toko' Witjaksono dari Yogya.

Selama di sana, perspektif saya tentang seni performa semakin melebar. Pemahaman mengenai term masih menjadi sangat hangat, apalagi bila setiap diskusi dihadiri oleh para aktivis seni dan pemerhati seni yang saling berseberangan misalnya dari bidang performing art dan seni rupa [visual art] serta yang belum pernah melakukan studi khusus. Bisa makan waktu berjam-jam, bahkan berlanjut hingga di luar ruang studio. Pun saat saya tayangkan video performance dari beberapa artis Indonesia, beberapa pemerhati dan akademisi segera saling memberikan pendapatnya bahwa tidak setiap video para performance artist merupakan video performance, sebab ada kategori atas video clip, video art dan documentative video atau sebuah karya film [cinematic] dalam format video atau lazimnya disebut film pendek [independence film]. Bentuk terkini lainnya yang muncul adalah performativity, dimana sang artis seni performa menggunakan perangkat audio visual baik video, kamera dan sejenisnya hingga cellularphone [HP] sebagai bagian dari performanya yang dilakukan secara langsung di hadapan audiens.

Sangat menarik bila terlibat dalam diskursus macam demikian tersebut di atas. Karena semua berdasar pada argumentasi yang didasari observasi data dan referensi. Akhirnya saya pun makin paham bahwa hingga di Asia Selatan pun [audience dalam sesi diskusi saat itu tak hanya dari India, namun juga dari Pakistan, Bangladesh dan Srilanka selain dari institusi seni negara-negara asing macam Goethe Institut, Alliance Francais, the British Council dan seniman manca negara lainnya yang tengah berada di New Delhi] masih juga menjadi perdebatan seru, masing-masing berdasar pada bobot pengetahuan dan pengalaman observasi yang dimiliki.

Jadi, secara sederhana saja menurut saya, bila ruang seni performa masih belum memiliki bidang tersendiri, maka selamanya akan terus terjadi tarik menarik dan adu silang pendapat akan terus berlanjut sampai kapan pun. Dan bukan tidak mungkin akan selamanya statusnya tetap sebagai ‘alien’.

Nah, siapa tahu mungkin kita bisa sama-sama saling menemukan titik temunya. Siapa tahu dari berbagai program dan even yang berfokus pada performance art yang diselenggarakan di berbagai tempat tak terbatas pada negara semata, akan dapat saling bersinergi sehingga semakin membulatkan tuntas wacana performance art sebagai sebuah genre, bukannya makin tumpul dan tidak berkembang dalam ketidakmenentuan akibat jalan di tempat semata.

SIP-AE [Surabaya International Performance Art Event] yang akan berlangsung di Surabaya tahun depan 2008 ini, menurut saya akan menjadi salah satu kontribusi yang sangat bermanfaat bagi siapa saja yang dapat meresponsnya secara positif, pun dengan melewati berbagai perbedaan pendapat [sebagai salah satu kekayaan tersendiri] yang ada, pun bila ada berbagai kekurangannya. Maksimalisasi titik-titik kelebihannya, adalah salah satu solusi. Biar pun berupa titik, tetap memiliki vektor-vektor yang nantinya berjalan membentuk garis penghubung ke segala arah. Saling menjalin networking dan bersinergi dalam berbagai produksi serta diskursus, dan seterusnya. Aktivitas macam ini akan menjadi mata rantai yang saling mengaitkan diri satu sama lain, bagai titik-titik air jatuh di atas danau dan makin berpendar lebar dan meluas.

Sebagai komparasi, berikut ini saya tayangkan berbagai ulah para performance artists saat hari-hari terakhir masa residensi kami bersama di New Delhi. Mereka adalah Motty Brecher dari Tel Aviv [Israel], Ni Jun dari Shang-Hai [Cina], Nikhil Chopra dari Mumbay [dulu Bombay, India], Raimi Gbadamosi, PhD dari London [Inggris] dan saya sendiri dari Jakarta [Indonesia].

Tayangan ini menunjukkan bahwa seni performa, meski pun dianggap sebagai ‘unconvensional art’, sangatlah menarik untuk ditelaah dan dikaji. Meski bentuknya seringkali radikal, namun idea yang ingin disampaikan adalah jurnal hidup sang seniman yang nota bene merupakan jurnal hidup kita semua. Apakah itu masalah sosial, politis dan sebagainya, semuanya bermuara dari urusan kehidupan dan perjalanan spiritual dalam diri para seniman [diakui atau tidak] dalam upayanya mengusik hati nurani khalayak [melalui para audiencenya]. Itu sebabnya kesan yang ditimbulkan adalah provokatif, karena memang sangat mengusik kesadaran dan kepedulian rasa serta pikiran kemanusiaan kita. Di situlah letak estetikanya

Terima Kasih.
------




[S S Listyowati]




The mistery of creation is like the darkness of night – it is great. Delusions of knowledge are like the fog of the morning.
Rabindranath Tagore

[1861-1941]




*)
Catatan:

Istilah performance art di Indonesia

Menurut beberapa ensiklopedia seni dari Eropa dan Amerika, saya simpulkan bahwa performance art tidak masuk dalam kategori performing art yang mengandalkan susunan kreasi berdasarkan plot, dramaturgi, ritme, dan berbagai tehnik teatrikal lainnya, seperti opera, tari, paduan suara, konser dan lain sebagainya, meski pun kehadirannya menyertakan materi tersebut sebagai bahan, bukan sebuah ‘barang jadi’.

[Kata ‘performance’ bermakna ‘pertunjukan’; ‘perbuatan’; ‘hasil’; ‘pelaksanaan’; ‘penyelenggaraan’; ‘pergelaran’, demikian dalam kamus besar bahasa Indonesia, sedangkan menurut kamus bahasa Inggris berarti: the act or manner of exhibiting an art, skill, or capacity; an action, deed, or thing done, the act of performing or condition of being performed].

Performance art lebih merupakan sebuah karya reduksi dari berbagai hal (bentuk, faham, filosofi, teori, pemikiran) yang telah mapan. Ia banyak memecah dan mendobrak benteng-benteng dan puri agung paradigma lama hingga seringkali dicap sebagai karya anomali. Padahal semua karya manusia tak pernah lepas dari semiotika.

Berbeda dengan performance art, konsep dalam performing art adalah konsep yang tertata apik, tidak lagi melalui atau pun melahirkan ruang konseptual baru. Performing art berada dalam bidang yang sama sekali lain dengan performance art, karena produknya lebih artifisial dan welldone. [Performing adalah sebuah kata sifat yang berarti: ‘mempertunjukkan’. Performing art = seni mempertunjukkan, demikian menurut kamus terjemahan Inggris-Indonesia, namun hingga kini terjemahannya adalah ‘seni pertunjukan’. Terjemahan ini sudah selayaknya dikaji ulang agar tidak terjadi salah paham yang berkelanjutan.]

Selama observasi di tahun 2005 (sebelum penulisan laporan, lihat http://observeperformanceart.blogspot.com), penulis tidak menggunakan terjemahan dalam bahasa Indonesia , karena ada kemungkinan bahwa pemaknaan istilahnya selama ini rancu. Penulis dalam tulisan ini hanya menceritakan rangkuman garis besar sejarah berdasarkan data yang ada. Sejarah performance art meliputi data yang sangat luas hingga ke detil-detilnya, karena satu dan lainnya saling berkaitan dengan berbagai aspek dan situasi yang menyelimutinya di tiap titik. Kumpulan data yang sangat luas ini melahirkan berbagai persepsi dan interpretasi yang beraneka, termasuk persepsi dan interpretasi penulis. Setelah melakukan berbagai observasi baik langsung mau pun studi pustaka, penulis membatasi istilah performance dan performance art untuk masing-masing kasus.

Performance digunakan untuk setiap kasus penampilan (menampilkan aksi atau objek, atau ‘ulah sebuah obyek sebagai subyek’), yang bisa berarti performance (performa) seorang atlet, pembalap atau binaragawan, produk obat, iklan dan sebagainya.

Menurut penulis, performance art lebih merujuk pada ‘seni penampilan’. Ini lebih konseptual karena menyandang kata ‘seni’ atau ‘art’ sebagai beban makna tersendiri selain kata 'performance’. ‘Seni’ sebagai institusi tersendiri --kata pertama-- yang menerangkan ‘penampilan’ –kata ke dua-- (yaitu kata benda yang berarti: ‘proses’; ‘cara’; ‘perbuatan’ menampilkan –bertalian dengan prefiks verbal me-) konsep si penampil, bukan sekedar performer/ pelaku dalam performance, tapi ‘performance artist’. Hal ini karena setiap performance belum tentu berbobot seni (misalnya: ‘performance pak direktur tadi sangat hebat’, atau ‘performance kecepatan mobil itu sungguh prima’).

Pembatasan ini perlu saya lakukan karena seringkali terjadi bias dan penyederhanaan makna konseptual. Performance art berpangkal dari pemahaman anti-estetika, yang berarti sangat menolak ‘jauh-jauh’ dan lepas dari segala kaidah seni (anti Art). Hal ini berarti berbagai unsur artifisial macam tari, teater, musik, sastra dan dramaturginya sama sekali tidak termasuk dalam setiap penampilan para performance artist. Keindahan performance art hanya pada konsep semata. Jadi penggunaan kata 'art' atau 'seni' di sini menjadi sangat penting, karena menerangkan ‘performance’ yang sebetulnya sangat memporakporandakan pengertian ‘pertunjukan’ secara konvensional. Meski performance art dapat saja mengikutsertakan unsur tari, musik, nyanyi dan sebagainya, namun tetap bukan merupakan ‘seni pertunjukan’, karena bukan tarian atau musiknya yang menjadi obyeknya.

Atas dasar pemikiran tersebut pula, penulis tidak menggunakan terjemahan ‘performance’ sebagai ‘pertunjukan’. Berdasar pada sejarah dan realitas yang saya dapat, lebih mudah bagi penulis untuk me’reduksi’ terjemahan kata ‘performance’ sebagai ‘penampilan’, bukan ‘pertunjukan’ (bertalian dengan prefiks verbal ber-). Apalagi kata dasar ‘tunjuk’ bersinonim dengan kata ‘tuding’ atau ‘mengacungkan jari telunjuk’. Kata ini berasosiasi ‘obyek’ semata.

Sementara kata ‘tampil’ di sini (menurut kamus) bermakna ‘melangkah maju’ (ke muka, ke depan); muncul; menampakkan diri. Selain itu ‘menampilkan’ berarti ‘mengemukakan’ atau ‘membawa ke muka’.
Terjemahan ini lebih menguatkan ‘performa’ sang penampil (performer) selaku ‘subyek’, ketimbang sekedar ‘tontonan’.
Maka, menurut saya, terjemahan lain dari performance art selain ‘seni penampilan’ adalah ‘seni performa’.